Selasa, 02 Maret 2010

Sistem Informasi & Penegakan Hukum di Indonesia

PRINSIP-PRINSIP CYBER LAW DALAM  HUKUM POSITIF DI INDONESIA  
Oleh: 
Prof. Dr. Otje Salman Soemadiningrat, SH. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia)

      A. Pendahuluan

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah hukum siber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi  (Law of Information Technology) Hukum Dunia Maya  (Virtual World Law)  dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual..
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik ( Lihat: Cohen-Lindebaum Arrest). yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.
Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat. Teknologi infomasi telah menjadi instrumen efektif dalam perdagangan global.
Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat  dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis  untuk ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional  untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula  sebagai orang yang telah  melakukan  perbuatan  hukum secara nyata.

     B. Prinsip dan Pendekatan Hukum dalam RUU ITE
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace (Prof. DR. H. Ahmad M. Ramli, SH., MH., Cyber Law & HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung 2004, hal.4-6.), pertama adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi atau diakses secara ilegal dan tanpa hak. Dengan hadirnya masyarakat yang diyakini sebagai masyarakat dunia, antara lain ditandai dengan pemanfatan teknologi informasi termasuk pengelolaan sistem informasi dan sistem elektronik yang semakin meluas dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia.
Kondisi yang demikian pada satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat karena memberikan kemudahan dalam berbagai aktifitas terrutama yang terkait dengan pemanfaatan informasi. Namun disisi lain, hal tersebut memicu lahirnya berbagai bentuk konflik dimasyarakat sebagai akibat dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
Keberadaan internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama dunia lebih dipertegaskan lagi dengan maraknya perniagaan elektronik (E-Commerce). E-Commerce ini tidak hanya telah menjadi mainstream budaya negara-negara maju tetapi juga telah menjadi bagian dari model transaksi di Indonesia.
Dalam kegiatan perniagaan, transaksi memiliki peran yang sangat penting. Pada umumnya, makna transaksi sering direduksi sebagai perjanjian jual beli antar para pihak yang bersepakat untuk itu. Padahal dalam perspektif Yuridis, terminologi transaksi tersebut pada dasarnya merupakan keberadaan suatu perikatan ataupun hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Makna yuridis dari transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada aspek materil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak, bukan perbuatan hukumnya secara formil. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan tetap mengikat meskipun terjadi perubahan media ataupun perubahan tata cara bertransaksi.
Dengan demikian, transaksi secara elektronik pada dasarnya merupakan perikatan atau hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan dari sistem elektronik berbasiskan komputer dengan sistem komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global atau internet.
Dalam lingkup publik, maka hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan antara warga negaradengan pemerintah maupun hubungan antara sesama anggota masyarakat yang tidak dimaksud untuk tujuan-tujuan perniagaan.

C.  Penutup
Sebagai warga dunia, regulasi hukum siber menjadi bagian penting dalam sistem hukum positif secara keseluruhan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera menuntaskan Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) untuk dijadikan hukum positif, mengingat aktivitas penggunaan dan pelanggarannya telah demikian tinggi.
Regulasi ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat demi terciptanya kepastian hukum. RUU ITE sendiri secara materi muatan telah dapat menjawab persoalan kepastian hukum yang diikuti dengan sanksi pidananya. Demikian juga tindak pidana dalam RUU ITE ini diformulasikan dalam bentuk delik formil, sehingga tanpa adanya laporan kerugian dari korban aparat sudah dapat melakukan tindakan hukum. Hal ini berbeda dengan delik materil yang perlu terlebih dulu adanya unsur kerugian dari korban.
RUU ITE merupakan satu upaya penting dalam setidaknya dua hal pertama: pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin Kedua: Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya.
Pada saatnya, setelah RUU ITE diundangkan, Pemerintah perlu pula untuk memulai penyusunan regulasi terkait dengan tindak pidana siber (Cyber Crime), mengingat masih ada tindak-tindak pidana yang tidak tercakup dalam RUU ITE tetapi dicakup dalam instrumen Hukum Internasional, sehingga regulasi yang dibuat akan sejalan dengan kaidah-kaidah internasional, atau lebih jauh akan merupakan implementasi (implementing legislation) dari Konvensi yang saat ini mendapat perhatian begitu besar dari masyarakat internasional.